Satu minggu setelah peristiwa itu berlalu. Deny sudah membuktikan ucapkannya. Dengan jujur dia mengatakan pada orang tuanya kalau dirinya ingin menikah dengan Utari. Awalnya orang tuanya tidak menyetujui, dirinya harus menyelesaikan kuliah dan bekerja terlebih dahulu. Namun, Deny bersikeras dia ingin ayahnya memberikannya pekerjaan yang bisa dia kerjakan tanpa harus menunggu dia selesai kuliah. Akhirnya kedua orang tuanya menyerah dan mengikuti apa maunya. Deny sudah menunjukan perubahan ke arah yang lebih baik, kebersamaan dengan teman-teman satu genknya sudah semakin jarang. Begitu pula dengan Utari. Niatnya untuk pindah dan kos berubah, dia akan menjadi istri Deny sebentar lagi. Rupanya perubahan ke arah yang baik ini tak menjadikan Wawang senang dan bersyukur. Dia merasakan Deny tak peduli seperti sebelum dekat dengan Utari. Begitu juga dengan teman-temannya.
Malam ini Utari tengah di ruang tengah menunggu kepulangan Deny yang memang sudah mulai diberikan tanggung jawab oleh ayahnya. Di tempat itu juga terlihat Wawan yang tidak seperti biasanya menonton acara TV. Entah niatan apa yang ada dalam hati Wawannya. Sesekali matanya menatap tajam kepada Utari yang sama sekali tidak menyadari kalau dirinya diperhatikan. Utari begitu serius membaca kemudian beralih kepada ponsel yang ada di genggaman dan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, seolah sedang menunggu seseorang.
“Hai Wan, tumben di rumah,” Deny menyapa Wawan yang enggan membalas sapanya. Deny mendekati Utari, menyalami dan memberikan tas kerjanya seolah suami yang menyalami istrinya.
“Wan, besok aku ke Bandung,” kata Deny kepada Wawan sambil menggandeng Utari ke ruang ke atas, entah apa yang dilakukan dua manusia yang berlawan jenis itu di atas sana. Yang pasti nampak dari raut wajahnya Wawan tak menyukai hal ini.
Paginya Deny memang benar – benar pergi ke Bandung. Utari kembali menyibukan hari-harinya dengan bekerja dan lembur. Hal ini dimanfaatkan Wawan yang memang tak menginginkan Deny menikahi Utari. Rencana jahat sudah dia persiapkan untuk menggagalkan pernikahan Utari dan Deny. Tepat pukul sembilan malam Utari tiba dari kerja lemburnya. Wawan dan Awang yang memang sudah menyusun sekenario sedemikian rupa menyambutnya seperti biasa.
“Baru pulang,Ut,” sapa Awang.
“He...em, kok tumben cuma berdua,” tanya Utari yang tidak curiga terhadap mereka.
“Iya nich, sini dong kamu gabung,” kata Wawan.
“Aduh Utari cape, Mas,” jawab Utari.
“Alaaah... kamu kan sekarang jarang gabung. Ayo dong,” Awang menimpali seolah memaksa.
“Iya Tapi ….”
“Ya sudah deh, tapi tidak akan menolak air jeruk ini kan,” Wawan mengangkat segelas air jeruk yang sudah disiapkan untuk menjebak Utari.
“Baiklah, kebetulan saya juga haus,” jawab Utari sambil menerima gelas yang berisi air jeruk yang sudah dicampuri dengan obat perangsang, tanpa perasaan curiga dia meminum habis air itu karena memang sedang haus.
Wawan dan Awang saling bertatapan tersenyum penuh kemenangan,
“Kena kamu, Ut,” bisiknya dalam hati.
Tak memerlukan waktu yang lama buat obat itu langsung bereaksi dan bekerja di tubuh Utari.
“Maaf saya ke atas dulu yah,” pamit Utari sambil sempoyongan.
“Perlu diantar, Ut?”
“Enggak usah Mas, terimakasih.”
Bersamaan dengan ucapan terimakasihnya, tubuh Utari terjatuh dan langsung ditangkap oleh Awang yang memang sudah mengkondisikannya. Rencana Wawan dan Awang berjalan mulus. Mereka yang sudah dikuasai nafsu setan sudah tak memiliki lagi rasa iba terhadap Utari yang terkulai tak berdaya dan menjadi budak nafsu keduanya. Sorot matahari menyelinap masuk melalui celah jendela kamar yang belum terbuka. Sinarnya jatuh dan mengenai tepat di dua kelopak mata yang masih terpejam milik Utari. Ia memaksa dirinya bergeser dan membuka matanya, tetapi rasa sakit sekujur tubuh dan kepala yang terasa berat mengurungkan niatnya. Alangkah terkejutnya dia ketika mendapati dirinya yang berantakan dan tanpa selembar kain yang menutup tubuhnya
“Mas Deny,” batin Utari. Dia segera menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Tubuhnya yang lelah tak ia pedulikan lagi. Ia mau segera bertemu Deny.
Utari baru saja melangkahkan kakinya ke ruang bawah. Mungkin di sana ia akan menemui Deny, tapi nihil meskipun Utari sudah mencarinya di setiap tempat yang biasanya digunakan oleh Deny. Dia tak menjumpai orang yang dicarinya meskipun pandangannya sudah dia edarkan ke seluruh ruang.
“Kamu tidak berangkat kerja, Ut ?” sapa Wawan.
“Terlambat bangun, Mas,” jawab Utari .
“Mas Deny ke mana ya, Mas,” tanyanya kepada Wawan.
“Loh kan ke Bandung.”
Utari mengernyitkan dahinya. Wajahnya berubah merah menahan marah.
“Lalu ini milik siapa Mas,” katanya sambil membanting dua pasang sepatu yang tertinggal di kamarnya.
“Oh itu milik ku dan Awang,” jawabnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Jadi . . “ tangisnya mulai pecah.
“ O . . . itu. Sudahlah Ut, bukankah aku juga sama dengan Deny.”
“Tega kamu Mas, tidak punya perasaan,” jeritnya setengah berteriak.
“Kamu butuh uang kan?” senyumnya sinis sambil melempar beberapa lembar uang bernilai seratus ribu.
“Mas, aku calon istri adikmu …”
“Hah ... Jangan harap kamu bisa menikah dengan Deny,” lanjutnya.
“Sekarang kamu adalah pelacur yang sudah melayani nafsuku dan Awang,” Wawan meninggalkan Utari yang menangis meratapi nasib. Hatinya benar-benar hancur, dia tidak menduga sama sekali kalau Wawan akan berbuat sekejam itu kepada dirinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Deny sampai tahu bahwa dirinya sudah dinodai oleh kakak dan sahabatnya.
Tepat pukul sembilan malam Deny sudah kembali dari Bandung dengan dua orang temannya. Entah apa yang sudah terjadi dengan Deny. Mungkin Wawan telah mengatakan apa yang sudah terjadi selama dirinya di Bandung dan mungkin juga telah memperlihatkan rekaman video yang menjijikan itu dengan dibumbui cerita bohong karanganya sendiri, sehingga Deny menjadi yakin kalau dirinya telah menghianati cintanya.....
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar