Jakarta memang tak senyaman kampung halamamnya yang tenang dan damai. Walaupun baru kali ini menjejakan kaki, dirinya tak begitu terkejut karena ia sudah banyak tahu tentang kota ini dari pesawat TV maupun dari cerita teman-temannya yang terlebih dahulu merantau. Tentang keindahannya, tentang kehidupannya yang penuh persaingan juga tentang sebagian besar penghuninya yang bersifat individualis dan hedonis. Namun, Utari sudah siap dan harus siap demi mimpi adik-adik dan dirinya. Hatinya sudah bertekad kuat untuk tidak terseret arus. Untuk sementara Utari tinggal di rumah keluarga Farkhan yang megah. Entah untuk berapa lama. Sebelum bisa mandiri, Utari diperbolehkan tinggal di rumah Farkhan. Utari memang belum begitu mengenal anak Pak Bakri yang satu ini, tapi dia percaya, Farkhan akan seperti Pak Bakri yang selalu baik pada dia dan keluarganya .
“Ut ini istri saya, Tante Ida namanya dan mereka ini anak-anak saya. Ini Wawan, Deny dan yang itu Obit,“ Farkhan memperkenalkan keluarganya kepada Utari seusai makan malam. Utari mengangguk dan memberi senyum pada keluarga Farkhan.
“Kami jarang berkumpul seperti ini. Yah, karena sibuk dan masing-masing punya waktu luang yang tidak sama,” lanjut Farkhan.
“Iya Ut, tante juga jarang di rumah,” sambung tante.
“Kalau pun sempat di rumah pagi-pagi sekali. Kami harus sudah berangkat lebih awal kalau tidak ingin terjebak macet,” Farkhan menambahi.
“Tapi kamu tidak perlu khawatir kesepian karena tentara-tentara tante yang ini punya banyak waktu, dan akan senang bila bisa menemani,” Tante Ida berkata sambil tersenyum dan melirik kepada anak-anaknya.
“Iya, kami tak punya kesibukan yang berarti selain kuliah,” kata Wawan sambil menatap adik-adiknya meminta persetujuan. “Bukankah begitu Den, Bit?”
“Tentu saja, tapi itu kalau dianya mau kita temani,” Deni membuang muka ke samping dan bersiap-siap meninggalkan meja makan.
“Maaf, Deni ada tugas Ma, Pa!”
Tentu saja sikap Deny sangat menyakitkan perasaan Utari, tetapi dia berusaha menutupi perasaannya karena dilihatnya tak ada satu orang pun yang berada di meja makan tersinggung dengan sikap Deny yang dianggapnya kurang sopan dan menyalahi tata karma. “Mungkin hal semacam ini sudah merupakan hal yang biasa dan lumrah di sini,” pikirnya.
Selesai makan malam Utari langsung masuk ke kamar yang sudah disiapkan untuknya. Sepertinya halnya semua penghuni rumah ini, tidak ada acara nonton TV, karena hampir di setiap kamar benda selalu ada .
Utari memasuki kamarnya di ruang atas yang kebetulan berhadapan dengan kamar Deny. Satu satunya penghuni rumah ini yang dirasakan kurang menyukai kehadirannya di rumah ini.
“Ah masa bodo, toh di rumah ini aku tidak akan selamanya,” pikir Utari.
“Lagi pula hanya Deny saja yang bersikap seperti itu. Lainnya tidak, mereka bersikap baik, setidaknya begitu untuk sementara ini,” batin Utari berkata-kata sendiri .
Paginya seperti biasa Utari bangun pukul lima untuk melaksanakan shalat Subuh. Sesuai pesan ibunya, di mana pun berada, dia tidak boleh melupakan shalat yang lima waktu. Untuk meminta perlindungan kepada Allah agar senantiasa dihindarkan dari segala macam marabahaya. Juga pesan untuk membantu mengerjakan apa saja yang bisa ia kerjakan. Misalnya membantu Bibi Oti menyiapkan sarapan pagi dan menyirami kembang yang ada di halaman depan.
Begitu semuanya selesai, Utari kembali ke kamarnya untuk mandi dan mempersiapkan diri kalau-kalau Farkhan meminta dirinya ikut ke kantor. Di tempat Farkhan bekerjalah Utari akan melamar pekerjaan. Masa bodo dengan nepotisme yang sekarang lagi umum dibicarakan orang, yang penting saat ini dia butuh kerja.
Utari selesai dengan mandinya ketika ia melihat dari jendela kamarnya Farkhan dan Tante Ida sudah berangkat. Dia urungkan niatnya untuk memakai busana resmi karena mungkin Farkhan hanya membawa surat lamarannya saja.
Setengah sembilan Utari turun untuk sarapan. Di depan kamar dia bertatapan dengan Deny yang keluar dari kamarnya. Dasar anak orang kaya, jam segini baru bangun tidur. Utari memberikan senyuman kepada Deny, yang entah diketahui atau tidak karena Deny ngeloyor begitu saja tak membalas senyumannya.
“Pagi Ut, sudah sarapan?” Obit yang sejak semalam tak terdengar suaranya pagi ini menyapa ramah saat dirinya sampai meja. Utari menggelengkan kepalanya sebagai jawaban belum.
“Kalau begitu kita sarapan bareng, yok,” tawar Obit sambil meletakan tas dan bukunya di atas lemari kecil di dekat meja makan .
“Mas Wawan dan Mas Deny enggak ditunggu?” sambil bertanya ditatapnya Obit yang asyik mengolesi roti dengan mentega.
“Deny enggak pernah sarapan pagi, Wawan belum bangun,” jawab Obit singkat dan memasukan potongan roti ke dalam mulutnya .
“Ut, kebiasaan di rumahku mungkin lain dengan kebiasaan di rumah kamu. Kami jarang sekali kumpul. Mungkin baru tadi malam kami makan bersama, itu saja karena papa ingin memperkenalkan kamu.”
“Kalau Pak Farkhan dan Tante Ida sibuk setidaknya kalian kan bisa makan bertiga,” kata Utari seperti memberi saran. Obit tak langsung menjawab saran Utari. Setelah menelan makanan di dalam mulutnya, baru Obit bicara.
“Meskipun kami bersaudara, kami punya banyak perbedaan. Deny misalnya. Dia tidak suka sarapan pagi, begitu juga dengan Wawan, kadang iya kadang juga enggak.”
Utari terdiam mendengar jawaban Obit.
“Oh iya Ut, hari ini aku ada kuliah tambahan dan mungkin aku pulang sampai malam, jadi maaf yah aku enggak bisa temani kamu,” Obit melap mulutnya dengan tisu usai menyelesaikan sarapannya.
“Ach enggak apa-apa,” kata Utari mengerti.
“Jadwal Wawan juga kayanya iya tuh, mungkin Deny yang bisa temani kamu, karena kebetulan dia yang libur.”
“Ah Deny, bagaimana mungkin dia mau menemani aku,” batin Utari.
Sepeninggalan Obit, Utari mengisi waktunya dengan membaca dan membantu Bi Oti di dapur, kadang juga menonton TV. Saat tengah membaca majalah, Utari melihat Deny pergi. Setengah jam kemudian kembali lagi dengan membawa tiga orang temannya, tentu saja Utari harus mengungsi dari ruang tengah ke kamarnya. Entah apa yang dilakukan teman-teman Deny di ruang tengah. Sampai menjelang Maghrib belum ada satu pun yang mohon diri pulang.
“Ya Allah, mudah-mudahan tidak sampai satu minggu aku mengalami hal seperti ini,” doa Utari usai shalat.
Utari baru saja mencopot mukenanya dan belum sempat melipat ketika tiba-tiba pintu kamatnya terbuka. Mimiknya tegang, ada rona takut yang tampak dari wajahnya. Tidak sopan batinnya. Mentang-mentang rumahnya sendiri.
“Mas Deny, ada apa Mas?” Walaupun agak gugup dan takut, Utari memberikan senyum pada Deny.
“Ada telepon dari papa,” jawab Deny kemudian berjalan meninggalkan kamar Utari.
Utari meletakan gagang telepon di tempatnya kembali.
“Ada apa Ut, papa enggak pulang?” Deny berdiri di belakangnya.
“ Enggak, Utari bisa berangkat kerja Senin depan,” jawab Utari.
“Ut, temanku pengin kenal sama kamu,” kata Deny.
Utari urung meninggalkan ruang tengah usai menerima telepon. Dia tak jadi pergi atas permintaan Deny. Dia melihat teman-temannya yang sedang duduk, di depannya. Tampak dihadapannya ada beberapa botol yang ia tahu botol minuman keras, kemudian tatapannya beralih kepada Deny yang masih berdiri di sampingnya.
“Enggak usah takut, mereka belum mabuk, toh hari ini aku yang menemani kamu,” kata Deny sambil berjalan mendekati temannya yang diikuti Utari di belakangnya.
“Awang.”
“Yos.”
“Boy.”
“Utari,” Utari menyalami teman-teman Deny satu-persatu.
“Gabung bareng kami dong,” Awang salah satu teman Deny menawari Utari .
“Iya jangan di kamar terus,” sambung Boy.
Utari menerima tawaran teman-teman Deny bergabung untuk menghormati perasaan Deny .
“Minum, Ut,” Yos menyodorkan gelas yang berisi minuman keras kepada Utari. “Janganm dia masih kecil,” cegah Deny mengambil gelas yang masih berada di tangan Yos. Dia meminumnya kemudian berjalan ke arah lemari es dan mengambil sekaleng coca cola. “Kamu ini saja,” kata Deny dan langsung duduk di samping Utari.
“Kau bilang Utari masih kecil, memang usianya berapa, Den?” tanya Awang kepada Deny.
“ Berapa, Ut?” Deny melimpahkan pertanyaan kepada Utari.
“Delapan belas nanti pada bulan Desember,” jawab Utari.
“Usia yang pas.” Boy mengedipkan mata kirinya kepada Utari.
“Pas apanya maksud lu?” Awang menimpali perkataan Boy
“Pas buat dijadiin pacar,” lanjut Boy tertawa.
Tentu saja hal semacam itu membuat paras manis Utari merah padam karena menahan malu.
“Maaf Mas Denym Utari mau ke atas yah,” Utari merasa jengah dengan candaan teman-teman Deni yang kurang sopan menurut dirinya.
“E . . eh mau kemana,” Yos menangkap pergelangan tangan Utari yang hendak melangkah pergi meninggalkan mereka.
“Nanti saja lah Ut, masih sore ini,” sambung Deny.
Utari terpaksa harus kembali duduk. Memang terasa sangat menyebalkan duduk di antara mereka. Mereka asyik minum dan merokok dan membicarakan hal yang sama sekali tidak dimengerti olehnya. Kadang-kadang tertawa, entah apa yang mereka tertawakan. Padahal menurutnya sama sekali tidak lucu. Tangan Yos juga sering usil menyentuh pipi. Kalau saja Deny tidak berusaha mencegahnya, sikap Deny yang melindungi itu sedikit mengurangi rasa takut yang menyelimuti perasaannya semenjak tadi. Utari masih belum mampu menahan gelisah hatinya, ketika dari arah luar terdengar suara sepeda motor yang berhenti di teras depan .
“ Hai . . . Yos, Boy, Wang, sudah lama?” sapa seseorang dari luar yang ternyata Wawan, kepada teman-teman Deny. Tampaknya Wawan juga sudah akrab dengan mereka.
“Lumayan juga sih,” jawab Boy .
“Gimana Wan, dapat?” tanya Deny mencegah langkah Wawan yang hendak ke atas .
“Siiip,” jawab Wawan mengacungkan ibu jari tangan kanannya kepada Deny dan teman-temannya.
“Hai...! Ut belum tidur?” Wawan melihat kepada Utari yang duduk terdiam di antara teman-teman Deny.
“Belum Mas, tapi sebenarnya sih sudah ngantuk,” Utari menatap kepada Deny seolah meminta ijin untuk tidur .
“Iya deh, lagi pula sudah malam,” jawab Deny yang sepertinya mengerti maksud Utari. Seperti mendapat kebebasan Utari langsung berdiri dan mengekor di belakang Wawan yang juga akan naik ke kamar atas.
“Ah... Kamu Wan, punya cewek cakep diumpetin sendiri.”
Teriakan Yos yang paling menyukai kehadirannya sempat didengar oleh telinga Utari, tapi dia sudah tidak memperdulikan lagi, yang penting sekarang dirinya sudah terbebas dari teman-teman Deny yang usil dan jahil.
Begitulah, satu minggu lamanya Utari harus bersabar hati jika teman-teman Deny ataupun Wawan berkunjung, dia harus ikut menemaninya. Lambat laun dia menjadi sedikit tahu tentang siapa Wawan dan Deny juga siapa teman-temannya yang sering datang.
Mereka anak-anak orang kaya yang salah dalam menggunakan uangnya. Mereka menggunakan uangnya untuk mengejar kegembiraan sesaat, dengan jalan membeli minuman keras dan barang terlarang seperti narkoba dan ganja. Tidak jarang Utari juga melihat ada di antara mereka satu atau dua orang wanita yang cantik yang usianya sedikit di atas usianya, dengan dandanan yang aneh menurutnya, ikut serta dalam pesta gila.
Pernah suatu hari Utari dipaksa untuk mengisap satu kali saja rokok, yang ia tahu isinya adalah ganja tapi tidak berhasil. Pada saat Utari tak punya alasan lagi untuk menolak, Deny melarang dan menyuruhnya untuk segera tidur. Begitulah satu minggu lamanya Utari merasa Deny lebih sering melindungi dirinya dari pada Wawan, meskipun awalnya dia tak menyukai Deny karena sikapnya yang dingin dan kasar. Untunglah panggilan kerja yang ditunggu-tunggu segera datang, sehingga ia dapat menghindar dari pesta gila yang sering diadakan oleh Deny dan Wawan. Utari lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja untuk lembur, sehingga dia jarang bertemu dengan Wawan dan Deny. Paling juga dengan Obit waktu sarapan pagi. Bertemu dengan Farkhan maupun Tante Ida nyaris tidak pernah karena sibuk atau entah karena apa .
Tak terasa sudah satu tahun lebih Utari menempati rumah Farkhan. Perekonomian keluarga Utari di kampung halaman pun sedikit demi sedikit meningkat, karena hasil kerjanya yang setiap bulan dia kirim. Utari sudah punya rencan untuk pindah dari rumah Farkhan dan kos dekat dengan tempatnya bekerja.
Malam itu entah pukul berapa ketika usai melaksanakan shalat malam, Utari dikejutkan dengan suara seperti benda jatuh di depan pintu kamarnya. Rasa ingin tahunya menjadikan ia membuka pintu kamar, dan dia begitu terkejut ketika didapatinya Deny yang terjatuh dalam keadaan mabuk yang nampak kesulitan untuk membuka pintu kamar yang terkunci dari luar.
“Mas Deny.” Dengan segera Utari meraih tubuh Deny dan membantunya untuk bangun. Dia memapah Deny memasuki kamar setelah pintunya berhasil dibuka dan merebahkan Deny yang mabuk berat itu di tempat tidur .
“Uh, dasar anak orang kaya,” batin Utari dan segera beranjak untuk kembali ke kamarnya sendiri. Utari sempat melihat jam yang menggantung di kamar Deny menunjukan pukul dua lebih lima belas menit. Belum sampai pintu Utari menengok kembali kepada Deny yang terbaring dengan mata terpejam. Entah sudah tidur atau belum. Masih dengan sepatu dan jaket kotor yang melekat di tubuhnya. Utari tidak tega melihat Deny tertidur dalam keadaan yang seperti itu, maka dia pun berbalik mendekati lagi kepada Deny yang terbaring lelap. Dengan perlahan-lahan dan hati-hati sekali dicopotnya sepatu dan jaket yang melekat di tubuh Deny, kemudian membasuh wajahnya dengan washlap yang sudah dibasahi air dingin. Diam–diam dia memperhatikan wajah Deny yang terlelap. “Ganteng juga cucu Pak Bakri ini. Wajahnya putih mulus dengan alis mata yang bersambung dan lebat, hidung mancung bengkok. Dia memiliki fisik yang nyaris sempurna,” gumam Utari dalam hati. Kalau saja Deny tidak menggeliat, mungkin Utari masih ingin duduk di dekatnya dan memandangi wajah Deny dengan sepuas hati. Wajah yang tak mungkin dapat dia pandangi bila Deny dalam keadaan sadar.
Utari tidak dapat mengingkari perasaannya yang diam-diam menyukai Deny. Walaupun dia benci setengah mati pada sikap Deny yang cuek kepadanya. Namun, ternyata lambat laun perasaan benci itu berubah menjadi suka, begitu ia sadar hanya Denylah yang selalu melindungi dirinya dari teman-temannya yang haus akan wanita cantik. Meskipun di tempat itu juga ada Wawan dan kadang juga Obit. “Apakah berarti Deny menyukai dirinya juga? Ah... Entahlah,” batinnya. Utari masih sempat menatap Deny sebelum akhirnya menutup pintu dan kembali memasuk ke kamarnya sendiri.
Pagi itu seperti biasanya sesudah shalat lalu membantu Bi Oti menyiapkan sarapan dan menyiram kembang, Utari kembali ke kamarnya untuk mempersiapkan diri berangkat kerja. Rencananya hari ini dia akan pamit untuk pindah ke kos-kosan. Dia sudah mengepak seluruh barangnya. Utari tak menyadari kalau saat itu Deny sudah terbangun dan ada di kamarnya tengah memperhatikan dirinya sedang berkemas. Begitu juga Deny baru sadar kalau Utari sudah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang tak kalah cantik dengan gadis-gadis kota. Tubuhnya yang terbungkus dengan baju tidur warna merah muda begitu serasi dengan kulitnya yang putih bersih, lekukan tubuhnya begitu jelas, karena busananya yang sedikit ketat, betisnya yang mulus dan ramping terlihat sempurna. Utari baru menyadari kalau dirinya diperhatikan ketika Deny mendekat dan terlihat bayanganya yang terpantul di cermin di hadapannya.
“Mas Deny...,” Utari membalikan badannya menghadap Deny yang sudah berdiri di belakangnya. Wajah putihnya memerah menahan malu, ketakutannya masih tampak walau sudah tak seperti saat pertama kali Deny memasuki kamarnya.
“Enggak usah takut,” Deny lebih mendekat lagi.
“Aku Ccma mau bilang terima kasih atas pertolongan kamu tadi malam. Oh ya, kamu mau ke mana, kenapa semua barang kamu dipacking?” Utari belum menjawab semua pertanyaan Deny ketika suara handphone dari kamar Deny terdengar.
“Aku mau bicara lagi sama kamu,” Deny menambahkan ucapannya sebelum keluar dari kamar Utari..
Jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Utari bergegas menyelesaikan packing barangnya kemudian turun untuk sarapan sebelum berangkat kerja. Hari ini dia sudah janji dengan pemilik kos. Rencananya dia akan membawa barangnya untuk ditaruh di kamar yang akan dia tempati selama satu tahun ke depan. Begitu sampai di ruang makan dia melihat pemandangan yang sedikit berbeda pagi ini, kehadiran Deny yang tak seperti biasanya.
“Ini masakan kamu, Ut?” Obit membuka percakapan setelah Utari duduk dan siap menyendok nasi ke dalam piringnya.
Utari tak langsung menjawab pertanyaan Obit yang juga tidak seperti biasanya, berbasa basi, mungkin karena ada Deny yang entah kesambet di mana jadi mau sarapan pagi.
“Kok enggak dijawab sih, enggak dengar?” Obit mengulang pertanyaannya.
“Memangnya kenapa?” jawab Utari.
“Enggak apa-apa sih. Cumaaa…..,” Obit sengaja menggantung kalimat selanjutnya.
“Cuma apa?” Utari menghentikan menyendok nasinya dan menatap kepada Obit yang tengah menyendok sayur.
“Porsinya kurang satu untuk Deny.”
“Kata Obit masakan kamu enak. Jadi mulai pagi ini aku akan sarapan,” kata Deny datar.
“Ya sudah. Mas Deny ambil punya Utari deh,” Utari mengulurkan piring nasi yang berada di hadapannya ke arah Deny.
“Lho terus, kamu bagaimana ?” tanya Deny.
“Saya enggak usah. Gampang nanti makan di kantin saja.”
“Eh.. Jangan begitu dong,” Deny menolak piring yang disodorkan oleh Utari.
“Gini saja,” Obit ikut menimpali, “kalian sepiring berdua saja, eh maksudku jatah sarapan kamu dibagi dua untuk Deny dan mulai besok Utari juga harus menambah porsi masakan,” Obit menengahi.
Utari dan Deny tersenyum mengakui saran Obit yang memang dirasakan tepat dan adil. Utari mengambil piring dan membagi sebagian jatah sarapannya untuk Deny.
Tak banyak percakapan yang keluar dari ketiga orang yang sedang sarapan bersama itu. Deny yang katanya ingin berbicara dengan Utari pun belum mengutarakan apa-apa padahal hari ini dia berencana pindah dan kos.
“Eem... Maaf Mas Deny, hari ini saya berencana pindah dan kos di luar,” Utari memecah kebisuan suasana dengan keberanian yang dipaksakan untuk berpamitan pada anak-anak Farkhan. Deny tak nampak terkejut mungkin dia sudah menebak ketika dia memasuki kamar Utari dan melihat banyak barang Utari yang telah terpacking.
“Lho kenapa Ut?” Obit menghentikan suapan terakhirnya.
“Ga apa-apa. Cuma ingin mandiri saja, saya sudah terlalu lama di sini...”
“Kamu sudah ijin sama papa dan mama?” Deny menimpali
“Belum,” sahut Utari.
“Ya sudah, Sebaiknya kamu tunda dulu, karena mereka sedang ada urusan di Bali selama seminggu,” suara Deny terdengar sangat tidak nyaman buat Utari.
“Tidak mungkin kan kamu pergi tanpa pamit pada mereka?” Deny bangkit dari kursi dari duduknya dan pergi meninggalkan Utari dan Obit.
“Ya Ut, sebaiknya kamu ijin dulu, diperbolehkan apa tidak,” kata Obit yang kemudian juga meninggalkan Utari yang masih terduduk di kursi meja makan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
"KKTP: Kunci Sukses Pembelajaran Efektif di Kurikulum Merdeka"
Halo, sahabat Jumilati's blog. Pada tulisan kali ini, kita akan bahas salah satu komponen penting dalam Kurikulum Merdeka yang sering ...
-
Naik kelas adalah langkah penting dalam perjalanan pendidikan kita. Ini adalah saat yang penuh tantangan di mana kita harus siap menghadapi ...
-
Sahabat blogspot tulisan kali ini saya akan membahas tentang koneksi antar materi modul 1.4 yang merupakan bagian dari salah satu tugas yang...
-
Hallo sahabat Jumilati's blog kali ini saya akan membagikan tulisan saya tentang Koneksi antar materi modul 3.1. Saya akan menceritakan ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar