Gerimis sisa hujan tadi malam masih ada, Sapa ramah matahari juga masih belum mau menyemburatkan sinarnya karena mendung yang masih bergelayut manja di singgasananya. Di dalam kamarnya yang terbuat dari bilik bambu, Utari merapikan baju lalu memasukan satu persatu ke dalam tas ransel sekolahnya.
Tekadnya sudah bulat dia harus pergi ke Jakarta untuk bekerja membantu perekonomian keluarga demi amanat almarhum bapaknya. Adik-adiknya harus menjadi orang berhasil agar mengubah pandangan orang terhadap keluarganya. Pesan itu terucap satu tahun silam sebelum ayahnya pergi menghadap sang Khalik. Pesan itu terpatri kuat dalam benak Utari. Yah selama ini keluarganya memang selalu dipandang sebelah mata, miskin dan kere demikian julukan dari tetangganya. Dia dan keluarganya selalu mendapatkan perlakuan yang berbeda dan hal itu sangat menyakitkan buat dirinya. Apa lagi semenjak kepergian ayahnya yang merupakan satu-satunya tulang punggung dalam keluarga, otomatis kehidupannya semakin terpuruk. Sekolahnya yang saat itu baru kelas dua SMK nyaris terputus karena tak sanggup mengambil kartu ujian dan melunasi tagihan SOP. Beruntungnya ada Pak Bakri tetangga yang berbaik hati meminjamkan uang untuk melunasi SOP dan menebus kartu ujian sehingga Utari berhasil naik kelas. Sebagai imbalannya Utari dan ibunya harus membayarnya dengan tenaga, ya dirinya dan ibunya menjadi pembantu di keluarga Pak Bakri. Diakui Utari, Pak Bakri memang baik tapi tidak dengan istri dan anak-anaknya. Pernah suatu hari ibunya dituduh mencuri cicin milik Ibu Bakri, padahal pelaku yang sebenarnya adalah anak bungsu Pak Bakri sendiri. Walaupun masalah itu sudah diselesaikan dengan permintaan maaf oleh Bu Bakri, tetapi hal itu tak mengubah julukan anak pencuri terhadap dirinya. Hal tersebut karena permintaan Pak Bakri yang menginginkan agar masalah tidak usah diperbesar. Cukup keluarga Pak Bakri dan keluarga dirinya saja yang mengetahui permasalahan yang sebenarnya, agar nama baik dan citra keluarga mereka tetap terjaga.
“Ut, ada Pak Bakri di luar.”
Utari belum selesai memasukan semua pakaian ke dalam tas ketika ibunya masuk ke kamar dan memberitahukan kedatangan Pak Bakri.
“Ya Bu, sebentar.”
Mendengar jawaban putri sulungnya sang ibu pun kembali keluar menemui tamunya. Pak Bakri memang menjanjikan sebuah pekerjaan yang lebih baik kepada Utari apabila dia sudah lulus dan telah mengantungi ijasah SMK. Dirinya akan dititipkan di perusahaan tempat anaknya menduduki jabatan penting.
“Eh Pak Bakri. Sudah lama menunggu, Pak?” Utari menemui Pak Bakri menggantikan ibunya yang masuk untuk membuat minuman.
“Begini Ut. Bapak ke sini mau memberitahukan kamu, kalau si Farkhan berangkat ke Jakarta tidak jadi Minggu malam tapi minggu pagi. Tadi malam dapat telepon dari atasannya kalau senin dia harus masuk kerja.”
Pak Bakri membuka percakapan begitu Utari duduk di hadapannya.
“Jadi kamu harus siap-siap dari sekarang Ut.”
“Mengapa diajukan ya, Pak?”
“Lha ya ndak tahu, wong itu perintah kok. Apa kamu tidak siap kalau berangkat besok pagi?”
“Ya siap sih Pak, tapi kalau malamnya kan siapnya lebih matang,” jawab Utari tersenyum.
“Ya sudah sekarang dimatangkan dulu biar besok pagi siap. Bapak pamit pulang,” Pak Bakri bangkit dari duduknya untuk berpamitan pulang.
“Lho Pak, sudah dibuatkan minum kok mau pergi,” dari ruang tengah ibu Utari muncul dengan dua cangkir teh hangat dan sepiring ubi goreng, sebelum Pak Bakri melangkahkan kaki untuk pulang.
“Iya Pak, diminum dulu nanti mubazir,” Utari menimpali. Orang tua itu tak jadi pergi, ia kembali duduk. Setelah meminum teh dan mencicipi sepotong ubi Pak Bakri pun pamit mohon diri .
Malamnya Utari tak bisa memejamkan mata, pikirannya kembali teringat nasehat ibunya tadi sore setelah teman-temannya pulang. “Ut, di Jakarta nanti kamu harus pinter-pinter bawa diri. Kamu harapan ibu dan adik-adikmu. Jangan sok ikut-ikutan anak orang kaya yang suka hura-hura. Di rumah Farkhan kamu jangan males, terus satu jangan lupa meminta kepada Gusti Allah, Dia Maha Pengasih dan Maha Pemurah, pokoknya cuma itu pesen ibu, Ut.” Utari berjanji akan memegang teguh nasehat itu.
Tengah malam Utari baru dapat memejamkan matanya, itupun belum begitu lelap ketika dari mushalah samping rumahnya terdengar suara azan Subuh memecah kesunyian pagi. Dengan cepat dia segera melipat selimut dan bangkit untuk melaksanakan kewajiban menunaikan shalat Subuh. Langkahnya begitu ringan demikian juga semangatnya yang menyala-nyala untuk merubah perekonomian keluarganya.
Di belakang tampak ibunya yang sudah terlebih dahulu bangun, sebagaimana kewajiban seorang ibu untuk menyiapkan sarapan juga bekal untuk dirinya di perjalanan nanti. Begitu juga dengan adik-adiknya, Ipunk dan Ilyas, yang sibuk akan tugasnya masing-masing. Hanya Anin si bungsu yang masih lelap tertidur .
Sejak kepergian ayahnya, Utari dan adik-adiknya memang sudah dituntut mandiri. Sedapat mungkin meringankan beban ibunya. Untuk biaya sekolah misalnya Ilyas memelihara ayam, Ipunk mengantarkan koran setiap pagi dan Utari sendiri membantu menjaga warung Bu Bakri sepulang sekolah.
“Mba, Ilyas nanti dibelikan baju baru yah,” Ilyas mendekati kakaknya seusai sarapan, sepertinya bocah kecil itu tahu kalau kepergian kakaknya itu untuk mencari duit.
“Ipunk juga ya, Mba,” Ipung yang baru saja pulang mengantarkan koran menyela tak mau kalah dengan adiknya.
“Anin juga, Mba.“
Utari mengelus rambut adiknya satu persatu dengan perasaan kasih.
“He..em, doa kan mba Utari biar dapat duit yang banyak yah,” katanya dengan senyum yang lembut menenangkan perasaan adik-adiknya yang mengelilinginya. Selesai sarapan dan membantu ibunya merapikan bekas sarapan, Utari pamit pada ibunya yang berada di kamar.
“Bu, Utari berangkat,” katanya sambil mencium tangan ibunya.
“Hati-hati, Nak,“ hanya kata-kata itu yang mampu ia ucapkan. Dengan mata berkaca-kaca tangannya mengelus rambut putri sulungnya.
Dengan berbekal ijsah SMK dan setumpuk harapan dari orang-orang yang dikasihiya, Utari berangkat ke Jakarta. Dia melangkah dengan mantap, meninggalkan semua kenangan yang indah menuju rumah Farkhan yang mungkin sudah menunggu dirinya.
Continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar