“Kamu tidak boleh pergi dari sini, Ut,” bisik Deny di telinga Utari.
“Kamu mabuk,” ujar Utari sambil berusaha melepaskan tangan Deny yang melingkari lehernya. Dada Utari sempat bergetar hebat ketika tubuhnya bersentuhan dengan Deny. Utari membuka sepatu dan jaket yang berbau alkhol yang membalut di tubuh Deny setelah terbebas dari rangkulannya. Utari membersihkan wajah Deny perlahan dengan washlap. Pekerjaan yang menyenangkan bagi Utari karena dengan begitu dia bisa menatap wajah Deny yang diam-diam telah mengisi alam khayalnya. Tak dipungkiri dia menyukai Deny. Hanya saja kesadaran tentang siapa dirinya menjadikan dia hanya menyimpan perasaan dengan rapat.
Utari sudah menggantikan baju kotor Deny dengan yang baru ketika tangan Deny menyentuh tangannya dengan lembut. Utari sangat terkejut dan berusaha menarik tangannya dari sentuhan Deny, tetapi sebaliknya Deny mempererat genggamannya pada tangan Utari. Rupanya dia tidak tertidur dan juga tidak begitu mabuk seperti kemarin malam. Deny bangun dari posisi tidurnya, dia duduk bersandar pada sisi tempat tidurnya.
“Kamu baik sekali kepadaku. Kamu tidak boleh, pergi aku membutuhkan kamu,” Deny menggenggam tangan Utari. Matanya menatap tajam ke dalam bola mata Utari, yang ditatapnya tak kuasa bertahan lama menantang sepasang mata yang menggetarkan jiwanya, dia tertunduk.
“Kamu mencintai ku kan?”
Utari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Deny. Sulit karena tenaga Deny lebih kuat darinya,
“Kamu mabuk, Mas.”
“Tidak, aku sadar Ut, aku tidak mabuk.”
“Mas, tolong lepaskan tanganku,” pinta Utari memohon.
“aku juga mencintaimu, Ut,” Deny tak menghiraukan permohonan Utari. Genggamanya semakin kuat dan semakin menarik Utari ke dalam dekapnya.
“Mas tolong jangan seperti ini,” Utari meronta tapi sekali lagi tenaganya kalah kuat. Di satu sisi hatinya mengakui dia bahagia dalam pelukan Deny.
“Tidak sebelum kau menjawab bahwa kau tidak akan pergi dari rumah ini dan tidak akan meninggalkan aku” kata Deny.
“Baiklah Mas. Aku tidak akan pindah.”
Deny mengendurkan pelukannya tapi tetap tak melepaskan genggaman tanganya.
“Mas sudah hampir pagi aku harus tidur,” Utari membujuk agar Deny mau melepas tangannya.
“Tolong jangan pergi sebelum aku tidur,” permintaan Deny begitu memelas. Entah perasaan apa yang terjadi pada Utari, dia luluh kemudian duduk di tepi tempat tidur Deny dan membiarkan kepalanya terbaring di atas pangkuannya.
“Deny aku memang mencintaimu, tapi aku sadar siapa diriku” batin Utari sambil mengelus rambut lelaki yang kini terbaring di pangkuannya.
“Ut, aku janji aku akan bilang pada papa, aku mencintai dan ingin menikah dengan dengan kamu.”
“Sadarkan kamu akan siapa diriku Mas?”
“Tidak Ut. papa tak seperti yang kau perkirakan. Dia tak pernah membedakan orang dari status sosial,” sahut Deny perlahan.
“Semoga begitu Mas.” Kali ini Utari tak meronta lagi ketika tangan Deny merengkuh dan memeluk tubuhnya. Hatinya sudah terlanjur jatuh dan berharap penuh Deny akan mengisi dan menjadi bagian dalam hidupnya untuk mengarungi kehidupan yang lebih baik lagi.
Seperti yang banyak dikatakan orang bahwa jika dua orang yang berlawan jenis berdua saja dalam satu ruang yang ketiganya adalah setan, yang akan terus membujuk dan menggoda untuk saling bermaksiat, melanggar norma agar saling memberi nikmat yang sesaat dan sesat. Dan setanlah yang akan menjadi pemenang dalam pergulatan dengan manusia yang lemah iman. Ya, Utari sudah melupakan semua dan tujuan awalnya datang ke Jakarta. Dia hanyut dan larut serta pasrah dalam pelukan Deny laki-laki yang diam-diam ia cintai dan telah menyakinkan dirinya dengan janji yang akan menjadi sadaran dalam hidup bersamanya. Sisa malam yang tinggal seperempat itu terasa singkat. Kedua insan yang sedang dalam cengkraman setan itu tidak menyadari kalau mereka lupa menutup dan mengunci kamar. Ada sepasang mata yang menyaksikan perbuatan zinahnya semenjak tadi. Wawan awalnya dia hanya mau menemui Deny di kamarnya, mengurungkan niatnya untuk masuk begitu melihat Utari yang seharusnya tidak berada dalam kamar Deny. Entah apa alasannya. Mengapa dia membiarkan hal yang tidak seharusnya terjadi pada saudaranya itu justru terjadi di depan matanya. Dia tidak mengusik keduanya yang sudah melanggar norma. Sebaliknya dengan kamera smartphone di tangannya itu, dia abadikan tindakan yang telah melanggar norma itu.
Suara azan subuh dari mushala komplek membangunkan Utari dari tidurnya. Dia begitu terkejut setelah menyadari apa yang sudah terjadi dengan dirinya. Air matanya tak terbendung. Tangisnya pecah. Penyesalan dan rasa salah memenuhi hatinya. Dia telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan ibunya. Perasann jijik terhadap dirinya yang sudah kotor dan ternoda terasa menyesakkan dadanya. Isak tangis Utari rupanya telah membangunkan Deny yang terbaring pulas di sampingnya.
“Maafkan aku, Ut,“ bisik Deny menyadari kesalahannya .
“Aku akan secepatnya bilang sama papa, aku ingin menikahi kamu begitu mereka pulang dari Bali,” lanjut Deny. Tangannya mengelus rambut Utari untuk menyakinkannya bahwa dia akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Sikap Deny yang dingin dan cuek saat ini benar-benar lenyap berganti dengan kelembutan dan kehangatan yang luar biasa. Entah kata apa yang dibisikan kembali oleh Deny di telinga Utari sehingga tangisnya reda dan di pintu pagi itu pun mereka mengulang kembali perbuatan terlarangnya. Utari sudah tak hiraukan lagi panggilan untuk menunaikan kewajibannya, dia sudah terlena dan larut dalam dekap iblis yang telah membawanya kepada kenikmatan yang sesat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar